BAYU EEF

Kamis, 15 April 2010

Proses konseling

Proses Konseling
Ditulis Oleh Ifdil

Terdapat tujuh langkah proses konseling dan psikoterapi yang dijelaskan dalam Brammer and Shostrom (1982), yaitu:

1: membangkitkan minat dan membahas perlunya bantuan pada diri klien

Tujuan tahap ini adalah memungkinkan klien mengemukakan masalahnya dan mengetahui sejauh mana klien menyadari perlunya bantuan dan menyiapkan dirinya dalam proses konseling. Strategi yang dapat digunakan: menyambut klien dengan hangat, membantu klien menjelaskan inti masalah yang dialaminya

2: membina hubungan

Tujuan dari tahap ini adalah membangun suatu hubungan yang ditandai oleh adanya kepercayaan klien atas dasar kejujuran dan keterbukaan. Suksesnya konseling ditentukan oleh: keahlian, kemenarikan dan layak untuk dipercayai.



3. Tahap 3: menetapkan tujuan konseling dan menjelajahhi berbagai alternative yang ada

Tujuan dari tahap ini adalah membahas bersama klien apa yang diinginkannya dalam proses konseling. Klien diajak untuk merumuskan tujuan berkaitan dengan permasalahannya.

4. Tahap 4: bekerja dengan masalah dan tujuan

Tujuan dari tahap ini adalah ditentukan oleh masalah klien, pendekatan dan teori yang digunakan konselor, keinginan klien dan gaya komunikasi yang dibangun oleh keduanya. Beberapa kegiatan dalam tahap ini: klarifikasi sifat dasar masalah dan memilih strategi, proses problem solving, penyelidikan perasaan klien lebih jauh, nilai dan batas pengekspresian perasaan, mengekpresikan perasaan dalam model aktualisasi.

5. Membangkitkan kesadaran klien untuk berubah

Pada tahap kelima ini hal yang penting konselor mulai bekerja dari pembahasan perasaan sampai memiliki kesadaran, hal ini bertujuan untuk membantu klien memperoleh kesadaran yang dibutuhkan dalam mencapai tujuan mereka selama mengikuti proses konseling.

6. Perencanaan dan kegiatan

Tujuannya adalah membantu klien untuk menempatkan ide-ide dan kesadaran baru yang ditemukan ke dalam tindakan kehidupan sesungguhnya dalam rangka mengaktualisasikan model.

7. Evaluasi hasil dan mengakhiri konseling

Kriteria utama keberhasilan konseling dan indikator kunci mengakhiri proses konseling dan terapi adalah sejauh mana klien mencapai tujuan konseling.

KONSELING DAN PSIKOTERAPI

Makna Konseling dan Psikoterapi
Reviu oleh Didi Tarsidi
Universitas Pendidikan Indonesia (UPI)

Sumber:
Cavanagh, Michael E. (1982)
The Counseling Experience
Chapter 1: The Nature of Counseling
Monterey, California: Brooks/Cole Publishing Company

Pada bab ini dibahas sejumlah konsep yang penting untuk dipahami agar dapat memahami prinsip-prinsip konseling. Penulis buku ini mengajukan pertanyaan-pertanyaan berikut untuk membantu pembaca memahami konsep-konsep tersebut.
1. Apakah konseling itu?
2. Apakah konseling berbeda dengan psikoterapi?
3. Apakah konseling itu efektif?
4. Bagaimanakah peranan penelitian dalam konseling?
5. Apakah ada teori konseling yang "terbaik"?
6. Apakah manfaatnya mempelajari konseling?

1. Definisi Konseling
Cavanagh mendefinisikan konseling sebagai hubungan antara seorang petugas bantuan yang terlatih dengan seseorang yang meminta bantuan, di mana keterampilan petugas bantuan tersebut beserta suasana yang diciptakannya dapat membantu orang belajar berhubungan dengan dirinya sendiri dan dengan orang lain dengan cara yang lebih menghasilkan pertumbuhan. Definisi ini mengandung tujuh unsure kunci. Jika salah satu dari ketujuh unsure tersebut tidak ada, maka konseling tidak dapat berlangsung betapa pun baiknya niat orang-orang yang terlibat di dalamnya. Ketujuh unsure tersebut adalah sebagai berikut:

a. Petugas bantuan itu merupakan professional yang terlatih. Semakin akademik dan semakin praktis pelatihan yang pernah diikutinya, akan semakin tinggi kemampuanya untuk menangani berbagai macam masalah dengan tingkat keparahan yang bervariasi.
b. Konselor memiliki hubungan dengan orang yang sedang dibantunya. Ini berarti bahwa terdapat sekurang-kurangnya saling pengertian, kepercayaan, penerimaan, dan kerjasama pada tingkat yang memadai. Hubungan professional konseling itu akan tumbuh semakin dalam sejalan dengan bertambahnya waktu yang dipergunakan untuk konseling.
c. Seorang konselor professional perlu memiliki keterampilan konseling dan kepribadian yang menunjang.
d. Seorang konselor membantu orang belajar. Ini berarti bahwa konseling merupakan suatu proses pembelajaran. Melalui proses tersebut orang belajar menghilangkan perilaku maladaptif dan belajar perilaku adaptif sesuai dengan konteksnya. Perilaku maladaptif itu dapat normal ataupun abnormal, tetapi sama-sama dapat mengganggu tercapainya pemenuhan kebutuhan dan pertumbuhan.
e. Orang belajar berhubungan dengan dirinya sendiri dan dengan orang lain. Ini berarti bahwa konselor membantu orang berhubungan dengan dirinya sendiri secara lebih baik agar dapat menjadi lebih terintegrasi dan dapat menghindari konflik. Belajar berhubungan secara lebih baik dengan orang lain itu penting karena sebagian besar kebutuhan dasar psikologis dapat dipenuhi hanya melalui hubungan interpersonal. Hal ini penting juga karena manusia tidak hanya memiliki tanggung jawab pribadi untuk tumbuh tetapi juga memiliki tanggung jawab social untuk membantu orang lain tumbuh atau sekurang-kurangnya tidak menghambat pertumbuhan orang lain.
f. Orang belajar berhubungan menuju pertumbuhan yang lebih produktif. Pertumbuhan yang produktif itu mengandung tiga makna. Pertama, ini berarti bahwa orang tumbuh dalam kompetensi intrapersonal dan interpersonal. Kedua, seyogyanya konseling diarahkan untuk membantu pertumbuhan kepribadian dan bukan sekedar menghilangkan gejala-gejala. Ketiga, konseling bukan hanya untuk orang yang mengalami gangguan psikologis, tetapi juga untuk mereka yang normal tetapi mengalami hambatan dalam pertumbuhannya.
g. Konseling mengandung konotasi hubungan antara seorang konselor dengan seseorang yang meminta bantuan .

2. Konseling dan Psikoterapi
Terdapat banyak persamaan antara konseling dan psikoterapi sehingga:
(1) konseling dan psikoterapi tidak dapat dibedakan secara jelas,
(2) konselor sering mempraktekkan apa yang oleh psikoterapis dipandang sebagai psikoterapi,
(3) psikoterapis sering mempraktekkan apa yang oleh konselor dipandang sebagai konseling.

Meskipun demikian, kedua bidang ini tetap berbeda. Berikut ini adalah beberapa perbedaan antara konseling dan psikoterapi.
a. Konseling pada umumnya menangani orang normal, sedangkan psikoterapi terutama menangani orang yang mengalami ganguan psikologis.
b. Konseling lebih edukatif, suportif, berorientasi sadar dan berjangka pendek, sedangkan psikoterapi lebih rekonstruktif, konfrontatif, berorientasi tak sadar, dan berjangka panjang.
c. Konseling lebih terstruktur dan terarah pada tujuan yang terbatas dan konkret, sedangkan psikoterapi sengaja dibuat lebih ambigu dan memiliki tujuan yang berubah-ubah dan berkembang terus.

3. Kefektifan KONSELING
Keefektifan konseling tergantung antara lain pada variabel-variabel berikut:
a. Durasi, hakikat, dan tingkat keparahan ganguan psikologis yang dialami klien;
b. Motivasi klien dan kualitas dukungan lingkungan;
c. Tingkat kesehatan psikologis yang dimiliki klien sebelum mengkonsultasikan masalahnya;
d. Tingkat kesehatan psikologis yang dimiliki klien pada saat konseling dimulai;
e. Keterampilan umum konselor dan keterampilan khusus yang dibutuhkan untuk menangani klien tertentu dengan masalah tertentu;
f. Motivasi konselor dan kualitas suasana terapeutik yang dapat diciptakannya.

4. Peranan Penelitian dalam KONSELING
Terdapat dua pertanyaan yang muncul bila kita menelaah bagaimana hubungan antara penelitian dan konseling:
a. Seberapa banyak seorang konselor harus mendasarkan pendekatanya pada temuan penelitian?
b. Dapatkah seorang konselor mengunakan teori dan praktek yang belum divalidasi melalui penelitian?

Terdapat dua pandangan mengenai pertanyaan pertama:
1) Penelitian dalam konseling telah memberikan kontribusi yang penting dan signifikan terhadap praktek konseling.
2) Konseling itu demikian kompleks sehingga hanya serpihan-serpihannya saja yang dapat diteliti, dan hasilnya pun sering tidak lengkap, konfliktual, atau tidak dapat diaplikasikan pada banyak situasi konseling sehari-hari. Ini bukan kesalahan penelitian melainkan merupakan cerminan tentang banyaknya dan kompleksnya masalah-masalah yang terlibat dalam konseling. Masalah-masalah itu mencakup kompleksitas orang yang menjadi klien konseling ataupun konselornya, hubungan antara klien dan konselor, faktor lingkungan yang mempengaruhi klien maupun konselor, bervariasinya pandangan orang terhadap hakikat dan tujuan konseling, validitas dan reliabilitas alat ukur, dan kompleksnya meneliti konseling tanpa secara signifikan mempengaruhi prosesnya.
Ini berarti bahwa penelitian dalam konseling itu penting, tetapi kita harus sangat berhati-hati dalam menyikapi temuan-temuanya.

Juga terdapat dua pandangan mengenai pertanyaan kedua (apakah konselor dapat menggunakan teori dan praktek yang belum divalidasi melalui penelitian):
1) Berbahaya bagi konselor jika menggunakan teori dan praktek tersebut sebelum pendekatan yang digunakanya divalidasi secara ilmiah.
2) Berbahaya bagi konselor jika harus menunggu hingga pendekatannya divalidasi secara empirik. Cavanagh menganut pandangan yang kedua ini. Hanya sedikit saja teknik konseling yang sudah divalidasi, sedangkan banyak sekali ragam masalah yang harus ditangani, dan penelitian membutuhkan waktu. Kita dapat belajar dari pengalaman, dan apa yang kita temukan terbaik untuk hari ini dapat lebih baik untuk hari esok.

5. Teori KONSELING
Tidak ada teori konseling yang terbaik untuk semua orang. Apa yang terbaik untuk satu orang mungkin terburuk bagi orang lain. Oleh karena itu, seorang konselor sebaiknya eklektik; dia harus memahami banyak teori dan menggunakan aspek-aspek terbaiknya untuk klien tertentu dengan masalah tertentu yang dihadapinya.
Ada tiga kebaikan eklektik yaitu:
a. Ini berarti bahwa konselor itu memiliki pengetahuan dan pemahaman yang sehat tentang berbagai teori yang dipelajarinya.
b. Ini berarti bahwa konselor itu memiliki filosofi dasar tentang perilaku manusia dan menggunakannya untuk memadukan berbagai bagian dari bermacam-macam teori menjadi satu kesatuan teoritik yang terintegrasi dan bermakna.
c. Ini berarti bahwa sang konselor menyesuaikan pendekatan yang dipegunakannya dengan klien dan bukan sebaliknya.

Konselor yang mengikuti satu pendekatan teoretik tertentu dan mengesampingkan yang lainnya harus berhati-hati agar tidak terjerumus pada perangkap berikut.
1) Mempersepsi klien dan masalahnya sebatas orientasi teori tertentu yang dianutnya. Bila seorang konselor memandang klien hanya dari sudut tertentu saja maka hasil konselingnya pun akan menjadi parsial.
2) Berusaha mencocokkan klien dengan teori meskipun pada kenyataannya tidak. Hasilnya dapat conterterapeutik.
3) Konselor lebih memahami satu ahli teori tertentu daripada dirinya sendiri sehingga dia membahas teori tersebut dan bukan melakukan konseling.

Menarik untuk diketahui bahwa banyak di antara para pendiri aliran utama konseling pun menekankan bahwa pendekatan terapinya itu bersifat tentatif. Mereka tidak menganjurkan orang untuk memandang teori dan strateginya sebagai sesuatu yang valid dalam semua situasi untuk semua orang. Misalnya, Freud menulis bahwa terdapat banyak cara untuk mempraktekkan psikoterapi. Yang baik adalah yang dapat menyembuhkan. Jung menulis bahwa teori dalam psikologi itu dapat sangat menyesatkan. Memang benar bahwa kita perlu memiliki sudut pandang tertentu sebagai landasan berpikir, tetapi teori-teori itu seyogyanya senantiasa dipandang hanya sebagai konsep-konsep pelengkap yang dapat dikesampingkan setiap saat.

6. Manfaat Mempelajari KONSELING
Terdapat banyak sekali manfaat mempelajari konseling, tergantung pada imaginasi dan upaya mahasiswa.
a. Perkuliahan dan buku teks konseling dapat memberikan berbagai teori dan prinsip yang diperlukan untuk menjadi konselor yang efektif, dan pengalaman praktikum memberi kesempatan untuk memodifikasi, menguji, dan memoles apa yang sudah dipelajari dalam perkuliahan.
b. Mahasiswa dapat memperoleh wawasan yang tepat tentang konseling sehingga dapat menentukan apakah konseling merupakan profesi yang cocok dengan kepribadianya. Konseling mencakup banyak prinsip praktis tentang perilaku manusia: teori tentang kepribadian, prinsip-prinsip penyesuaian personal dan sosial, dinamika hubungan interpersonal, dan unsur-unsur psikologi abnormal. Dengan mempelajari bagaimana fungsi seorang konselor profesional, orang dapat belajar cara berhubungan dengan dirinya sendiri dan dengan orang lain secara lebih efektif.
c. Konseling dapat membantu orang yang mengalami ataupun tidak mengalami masalah psikologis. Memperoleh ilmu konseling pada usia muda dapat membantu orang membangun fondasi yang lebih kuat untuk kehidupan selanjutnya, terlepas dari apakah dia akan memilih konseling sebagai karirnya ataupun tidak.

PENGANTAR PSIKOTERAPI

pengantar psikoterapi


Pengantar

Psikoterapi merupakan topic yang paling mendasar dalam Psikologi.

Aliran-aliran pemikiran besar yang menjadi mainstream dalam psikologi ternyata tidak bisa dilepaskan dengan praktek dan teori Psikoterapi, mulai dari Psikoanalis, Kognitif Behaviorisme, Humanistik dan Transpersonal, semuanya mempunyai suatu bentuk pendekatan dalam psikoterapi

Pendekatan konvensional, yang telah memiliki grand theory yang sudah mapan, yaitu : Pendekatan Humanistik, Kognitif, Gestalt dan Analisis Transaksional

Pendekatan kontemporer dimaksudkan sebagai pendekatan yang relative masih baru berkembang. Termasuk didalamnya adalah pendekatan dengan menggunakan Teknik Meditasi, Latihan Ketrampilan Sosial, dan Terapi Ekspresi Wajah Positif.

Pihak-pihak lain di masyarakat yang juga memberikan bantuan mirip psikoterapi, misalnya para tokoh agama, paranormal atau berbagai bentuk perguruan bela diri.

Pendekatan Humanistik Carl Rogers Dalam Psikoterapi
Dia adalah salah satu tokoh utama dalam pendekatan Humanistik, yang pemikiran dan teknik pendekatannya banyak diacu oleh psikoterapis yang lain, Teori kepribadian yang dijadikan sebagai landasan termasuk dalil-dalil pemikirannya sampai pada teknik aplikasinya.

Pendekatan Analisis Transaksional yang dikembangkan oleh Eri Berne.
Menekankan pada hubungan antar manusia ketimbang persoalan intra psikis atau ketidaksadaran seperti yang dikembangkan oleh Sigmund Freud. Teori Eric Berne tentang status Ego Anak, Dewasa dan Orang tua dibahas dalam bagian ini.

Terapi Gestalt yang dikembangkan oleh Frederick Pearl ini termasuk pendekatan Humanistik. Yang menarik dari pendekatan ini adalah adanya teknik-teknik yang konkret dan mudah dilaksanakan seperti teknik kursi kosong, bermain peran dan agenda bebas. Selain bisa dilaksanakan seara individual, teknik ini ternyata bisa juga diterapkan dalam seting kelompok.

Pendekatan Kognitif dalam Psikoterapi

Pendekatan ini sangat menekankan pada pentingnya kognisi. Para pendukung pendekatan ini meyakini bahwa proses kognisi mempunyai andil yang sangat besar terhadap timbulnya suatu bentuk emosi.

Sampai tahun 1980 ada lebih dari 250 pendekatan dalam psikoterapi yang tercatat dalam Handbook of psychotherapy. Kalau psikoterapi adalah proses penyembuhan batin, maka dapat diobservasi banyaknya jenis penyembuhan di bumi kita ini.

PSIKOTERAPI

PENGERTIAN

Psyche : mind / jiwa
Therapy : merawat, mengobati, menyembuhkan

Wohlberg :
Psychotherapy is the treatment by psychological means of the problems of an emotional nature in which a trained person deliberately establish a proffesional relationship with the patient with the object of :

- removing, modifying or retarding symptom
- mediating disturbed patterns of behavior
- promoting positive personality growth and development

Corsini :
Proses interaksi formal 2 pihak (2 orang/lebih), bertujuan memperbaiki keadaan yang tidak menyenangkan (distres) pada salah 1 pihak karena tidak berfungsinya / ketidakmampuan pada fungsi kognitif, afeksi atau perilaku, dengan terapis berusaha mengembangkan memelihara atau mengubahnya dengan menggunakan metode2 sesuai pengetahuan & skill, serta bersifat profesional & legal

Ciri psikoterapi :
1. Proses : Interaksi 2 pihak, formal, profesional, legal, etis
2. Tujuan : Perubahan kondisi psikologis individu - pribadi yang positif / optimal (afektif, kognitif, perilaku/kebiasaan)
3. Tindakan, berdasar :
- ilmu (teori2), teknik, skill yang formal
- assessment (data yang diperoleh melalui proses assessment – wawancara, observasi, tes, dsb)

Tujuan terapi (Korchin) :
1. memperkuat motivasi klien untuk melakukan hal yang benar
2. mengurangi tekanan emosional
3. mengembangkan potensi klien
4. mengubah kebiasaan
5. memodifikasi struktur kognisi
6. memperoleh pengetahuan tentang diri
7. mengembangkan kemampuan berkomunikasi & hubungan interpersonal
8. meningkatkan kemampuan mengambil keputusan
9. mengubah kondisi fisik
10. mengubah kesadaran diri
11. mengubah lingkungan sosial

Dasar psikoterapi :
Manusia pada dasarnya bisa dan mungkin untuk dipengaruhi / diubah melalui intervensi psikologi yang direncanakan

Terapi - efektif jika :
- adanya pemulihan dalam hubungan interpersonal
- adanya keterampilan coping yang lebih baik
- pertumbuhan personal

Sejarah Psikoterapi :
Psikoterapi berawal dari upaya menyembuhkan pasien yang menderita penyakit jiwa
- berabad-abad yang lalu
orientasi mistik - upaya mengusir roh jahat dengan cara tidak manusiawi (mengisolasi, mengikat, memasung, memukul)
- Philipe Pinel
Melakukan pendekatan bersifat manusiawi, yang berorientasi kasih sayang (love oriented approach) - mendirikan asylum
- Anton Mesmer
Mempergunakan teknik hypnosis & sugesti, teknik hypnosis kemudian digunakan oleh Jean Martin Charcot
- Paul Dubois
Merumuskan & menekankan peranan penting teknik berbicara (speech technique, talking cure) yang digunakan kepada pasien. Paul Dubois tercatat sebagai “The First Psychotherapiest”
- Joseph Breuer (senior dari Sigmund Freud) & Sigmund Freud
- menggunakan teknik hypnosis & teknik berbicara dalam upaya menyembuhkan pasien2 histeria
- Pada Breuer  talking cure dilakukan terhadap pasien dalam keadaan hypnosis
- Pada Sigmund Freud  talking cure dilakukan terhadap pasien dalam keadaan sadar ( cikal bakal lahirnya psikoanalisis)



PSIKOTERAPI & KONSELING

Adanya pengertian & konsep yang tumpang tindih antara psikoterapi & konseling yang sulit dihindari, maka dewasa ini kedua istilah ini seringkali muncul bersama.
Namun secara umum, persamaan & perbedaannya dapat dilihat sebagai berikut :

Persamaan :
- dasar : teori, metode & data ilmiah yang telah dikaji secara empirik (observasi, wawancara, test, teori2)
- teknik2 ilmiah : pembicaraan, latihan2
- aturan : biaya, waktu, tempat, alat2,

Perbedaan

Konseling Psikoterapi
< intensif > intensif
preventif Kuratif / reapartif
Fokus : edukasi, vocational, perkembangan Fokus : remedial
Setting : sekolah, industri, social work, Setting : rumah sakit, klinik, praktek pribadi,
Jumlah intervensi < Jumlah intervensi >
supportive rekonstructive
Penekanan “normal”
/ masalah ringan Penekanan “disfungsi” / masalah berat
Short term Long term

Corsini :
Teknik2 / proses2 secara kualitatif sama, tetapi secara kuantitatif berbeda
Persentase waktu yang digunakan oleh konselor & psikoterapis dalam aktivitas profesionalnya :

Proses Konseling (%) Psikoterapi (%)

listening 20 60
questioning 15 10
evaluating 5 5
interpreting 1 3
supporting 5 10
explaining 15 5
informing 20 3
advising 10 3
ordering 9 1
Tahap-tahap psikoterapi :
1. Wawancara awal
- dikemukakan apa yang akan terjadi selama terapi berlangsung, aturan2, yang akan dilakukan terapi & diharapkan dari klien, kontrak terapeutik (tujuan, harapan, kapan, dimana, lama, keterbatasan, dll)
- akan diketahui apa yang menjadi masalah klien – rapport, klien menceritakan masalah (ada komitmen untuk mengkomunikasikan), terapis & klien bekerjasama
2. Proses terapi
- mengkaji pengalaman klien, hubungan terapis & klien, pengenalan – penjelasan – pengartian perasaan & pengalaman klien
3. Pengertian ke tindakan
- terapis bersama klien mengkaji & mendiskusikan apa yang telah dipelajari klien selama terapi berlangsung, penngetahuan klien akan aplikasinya nanti di perilaku & kehidupan sehari-hari
4. Mengakhiri terapi
- terapi dapat berakhir jika tujuan telah tercapai, klien tidak melanjutkan lagi, atau terapis tidak dapat lagi menolong kliennya (merujuk ke ahli lain)
- beberapa pertemuan sebelum terapi berakhir klien diberitahu  klien disiapkan untuk menjadi lebih mandiri menghadapi lingkungannya nanti


Keterampilan Terapis :
meliputi keterapilan dalam komunikasi verbal & non verbal
1. Komunikasi verbal
bahasa yang baik & dimengerti oleh klien
2. Komunikasi non verbal
- adanya kepekaan terapis dalam menggunakan ekspresi wajah, gerak tangan, ekspresi tubuh, nada suara
- terapis mampu & tepat dalam mengartikan komunikasi non verbal klien

Komunikasi non verbal :
- dalam menggunakan waktu
: cepat/lambat menjawab, jumlah waktu yang digunakan, tergesa2/tidak dll
- dengan menggunakan tubuh
: kontak mata, ekspresi wajah, postur, gerakan2 dll
- melalui suara : nada, kecepatan dll
- melalui penggunaan lingkungan
: jarak, pakaian, posisi di ruang, dlL
Penggolongan psikoterapi - 3 kelompok utama :
1. supportive therapy
2. reeducative therapy
3. reconstructive therapy

Selasa, 13 April 2010

LAYANAN BIMBINGAN DAN KONSELING

Dalam rangka pencapaian tujuan Bimbingan dan Konseling di sekolah, terdapat beberapa jenis layanan yang diberikan kepada siswa, diantaranya:
Layanan Orientasi; layanan yang memungkinan peserta didik memahami lingkungan baru, terutama lingkungan sekolah dan obyek-obyek yang dipelajari, untuk mempermudah dan memperlancar berperannya peserta didik di lingkungan yang baru itu, sekurang-kurangnya diberikan dua kali dalam satu tahun yaitu pada setiap awal semester. Tujuan layanan orientasi adalah agar peserta didik dapat beradaptasi dan menyesuaikan diri dengan lingkungan baru secara tepat dan memadai, yang berfungsi untuk pencegahan dan pemahaman.
Layanan Informasi; layanan yang memungkinan peserta didik menerima dan memahami berbagai informasi (seperti : informasi belajar, pergaulan, karier, pendidikan lanjutan). Tujuan layanan informasi adalah membantu peserta didik agar dapat mengambil keputusan secara tepat tentang sesuatu, dalam bidang pribadi, sosial, belajar maupun karier berdasarkan informasi yang diperolehnya yang memadai. Layanan informasi pun berfungsi untuk pencegahan dan pemahaman.
• Layanan Konten; layanan yang memungkinan peserta didik mengembangkan sikap dan kebiasaan belajar yang baik dalam penguasaan kompetensi yang cocok dengan kecepatan dan kemampuan dirinya serta berbagai aspek tujuan dan kegiatan belajar lainnya, dengan tujuan agar peserta didik dapat mengembangkan sikap dan kebiasaan belajar yang baik. Layanan pembelajaran berfungsi untuk pengembangan.
• Layanan Penempatan dan Penyaluran; layanan yang memungkinan peserta didik memperoleh penempatan dan penyaluran di dalam kelas, kelompok belajar, jurusan/program studi, program latihan, magang, kegiatan ko/ekstra kurikuler, dengan tujuan agar peserta didik dapat mengembangkan segenap bakat, minat dan segenap potensi lainnya. Layanan Penempatan dan Penyaluran berfungsi untuk pengembangan.
• Layanan Konseling Perorangan; layanan yang memungkinan peserta didik mendapatkan layanan langsung tatap muka (secara perorangan) untuk mengentaskan permasalahan yang dihadapinya dan perkembangan dirinya. Tujuan layanan konseling perorangan adalah agar peserta didik dapat mengentaskan masalah yang dihadapinya. Layanan Konseling Perorangan berfungsi untuk pengentasan dan advokasi.
• Layanan Bimbingan Kelompok; layanan yang memungkinan sejumlah peserta didik secara bersama-sama melalui dinamika kelompok memperoleh bahan dan membahas pokok bahasan (topik) tertentu untuk menunjang pemahaman dan pengembangan kemampuan sosial, serta untuk pengambilan keputusan atau tindakan tertentu melalui dinamika kelompok, dengan tujuan agar peserta didik dapat memperoleh bahan dan membahas pokok bahasan (topik) tertentu untuk menunjang pemahaman dan pengembangan kemampuan sosial, serta untuk pengambilan keputusan atau tindakan tertentu melalui dinamika kelompok. Layanan Bimbingan Kelompok berfungsi untuk pemahaman dan Pengembangan
• Layanan Konseling Kelompok; layanan yang memungkinan peserta didik (masing-masing anggota kelompok) memperoleh kesempatan untuk pembahasan dan pengentasan permasalahan pribadi melalui dinamika kelompok, dengan tujuan agar peserta didik dapat memperoleh kesempatan untuk pembahasan dan pengentasan permasalahan pribadi melalui dinamika kelompok. Layanan Konseling Kelompok berfungsi untuk pengentasan dan advokasi.
• Konsultasi, yaitu layanan yang membantu peserta didik dan atau pihak lain dalam memperoleh wawasan, pemahaman, dan cara-cara yang perlu dilaksanakan dalam menangani kondisi dan atau masalah peserta didik.
• Mediasi, yaitu layanan yang membantu peserta didik menyelesaikan permasalahan dan memperbaiki hubungan antarmereka.
Untuk menunjang kelancaran pemberian layanan-layanan seperti yang telah dikemukakan di atas, perlu dilaksanakan berbagai kegiatan pendukung, mencakup :
• Aplikasi Instrumentasi Data; merupakan kegiatan untuk mengumpulkan data dan keterangan tentang peserta didik, tentang lingkungan peserta didik dan lingkungan lainnya, yang dapat dilakukan dengan menggunakan berbagai instrumen, baik tes maupun non tes, dengan tujuan untuk memahami peserta didik dengan segala karakteristiknya dan memahami karakteristik lingkungan.
• Himpunan Data; merupakan kegiatan untuk menghimpun seluruh data dan keterangan yang relevan dengan keperluan pengembangan peserta didik. Himpunan data diselenggarakan secara berkelanjutan, sistematik, komprehensif, terpadu dan sifatnya tertutup.
• Konferensi Kasus; merupakan kegiatan untuk membahas permasalahan peserta didik dalam suatu pertemuan yang dihadiri oleh pihak-pihak yang dapat memberikan keterangan, kemudahan dan komitmen bagi terentaskannya permasalahan klien. Pertemuan konferensi kasus bersifat terbatas dan tertutup. Tujuan konferensi kasus adalah untuk memperoleh keterangan dan membangun komitmen dari pihak yang terkait dan memiliki pengaruh kuat terhadap klien dalam rangka pengentasan permasalahan klien.
• Kunjungan Rumah; merupakan kegiatan untuk memperoleh data, keterangan, kemudahan, dan komitmen bagi terentaskannya permasalahan peserta didik melalui kunjungan rumah klien. Kerja sama dengan orang tua sangat diperlukan, dengan tujuan untuk memperoleh keterangan dan membangun komitmen dari pihak orang tua/keluarga untuk mengentaskan permasalahan klien.
• Alih Tangan Kasus; merupakan kegiatan untuk untuk memperoleh penanganan yang lebih tepat dan tuntas atas permasalahan yang dialami klien dengan memindahkan penanganan kasus ke pihak lain yang lebih kompeten, seperti kepada guru mata pelajaran atau konselor, dokter serta ahli lainnya, dengan tujuan agar peserta didik dapat memperoleh penanganan yang lebih tepat dan tuntas atas permasalahan yang dihadapinya melalui pihak yang lebih kompeten.

dikutip dari: www.akhmadsudrajat.wordppress.com

HAKIKAT DAN URGENSI BIMBINGAN DAN KONSELING

Hakikat dan Urgensi Bimbingan dan Konseling

Dasar pemikiran penyelenggaraan bimbingan dan konseling di Sekolah/Madrasah, bukan semata-mata terletak pada ada atau tidak adanya landasan hukum (perundang-undangan) atau ketentuan dari atas, namun yang lebih penting adalah menyangkut upaya memfasilitasi peserta didik yang selanjutnya disebut konseli, agar mampu mengembangkan potensi dirinya atau mencapai tugas-tugas perkembangannya (menyangkut aspek fisik, emosi, intelektual, sosial, dan moral-spiritual).

Konseli sebagai seorang individu yang sedang berada dalam proses berkembang atau menjadi (on becoming), yaitu berkembang ke arah kematangan atau kemandirian. Untuk mencapai kematangan tersebut, konseli memerlukan bimbingan karena mereka masih kurang memiliki pemahaman atau wawasan tentang dirinya dan lingkungannya, juga pengalaman dalam menentukan arah kehidupannya. Disamping itu terdapat suatu keniscayaan bahwa proses perkembangan konseli tidak selalu berlangsung secara mulus, atau bebas dari masalah. Dengan kata lain, proses perkembangan itu tidak selalu berjalan dalam alur linier, lurus, atau searah dengan potensi, harapan dan nilai-nilai yang dianut.

Perkembangan konseli tidak lepas dari pengaruh lingkungan, baik fisik, psikis maupun sosial. Sifat yang melekat pada lingkungan adalah perubahan. Perubahan yang terjadi dalam lingkungan dapat mempengaruhi gaya hidup (life style) warga masyarakat. Apabila perubahan yang terjadi itu sulit diprediksi, atau di luar jangkauan kemampuan, maka akan melahirkan kesenjangan perkembangan perilaku konseli, seperti terjadinya stagnasi (kemandegan) perkembangan, masalah-masalah pribadi atau penyimpangan perilaku. Perubahan lingkungan yang diduga mempengaruhi gaya hidup, dan kesenjangan perkembangan tersebut, di antaranya: pertumbuhan jumlah penduduk yang cepat, pertumbuhan kota-kota, kesenjangan tingkat sosial ekonomi masyarakat, revolusi teknologi informasi, pergeseran fungsi atau struktur keluarga, dan perubahan struktur masyarakat dari agraris ke industri.


Iklim lingkungan kehidupan yang kurang sehat, seperti : maraknya tayangan pornografi di televisi dan VCD; penyalahgunaan alat kontrasepsi, minuman keras, dan obat-obat terlarang/narkoba yang tak terkontrol; ketidak harmonisan dalam kehidupan keluarga; dan dekadensi moral orang dewasa sangat mempengaruhi pola perilaku atau gaya hidup konseli (terutama pada usia remaja) yang cenderung menyimpang dari kaidah-kaidah moral (akhlak yang mulia), seperti: pelanggaran tata tertib Sekolah/Madrasah, tawuran, meminum minuman keras, menjadi pecandu Narkoba atau NAPZA (Narkotika, Psikotropika, dan Zat Adiktif lainnya, seperti: ganja, narkotika, ectasy, putau, dan sabu-sabu), kriminalitas, dan pergaulan bebas (free sex).

Penampilan perilaku remaja seperti di atas sangat tidak diharapkan, karena tidak sesuai dengan sosok pribadi manusia Indonesia yang dicita-citakan, seperti tercantum dalam tujuan pendidikan nasional (UU No. 20 Tahun 2003), yaitu: (1) beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, (2) berakhlak mulia, (3) memiliki pengetahuan dan keterampilan, (4) memiliki kesehatan jasmani dan rohani, (5) memiliki kepribadian yang mantap dan mandiri, serta (6) memiliki rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan. Tujuan tersebut mempunyai implikasi imperatif (yang mengharuskan) bagi semua tingkat satuan pendidikan untuk senantiasa memantapkan proses pendidikannya secara bermutu ke arah pencapaian tujuan pendidikan tersebut.

Upaya menangkal dan mencegah perilaku-perilaku yang tidak diharapkan seperti disebutkan, adalah mengembangkan potensi konseli dan memfasilitasi mereka secara sistematik dan terprogram untuk mencapai standar kompetensi kemandirian. Upaya ini merupakan wilayah garapan bimbingan dan konseling yang harus dilakukan secara proaktif dan berbasis data tentang perkembangan konseli beserta berbagai faktor yang mempengaruhinya.

Dengan demikian, pendidikan yang bermutu, efektif atau ideal adalah yang mengintegrasikan tiga bidang kegiatan utamanya secara sinergi, yaitu bidang administratif dan kepemimpinan, bidang instruksional atau kurikuler, dan bidang bimbingan dan konseling. Pendidikan yang hanya melaksanakan bidang administratif dan instruksional dengan mengabaikan bidang bimbingan dan konseling, hanya akan menghasilkan konseli yang pintar dan terampil dalam aspek akademik, tetapi kurang memiliki kemampuan atau kematangan dalam aspek kepribadian.

Pada saat ini telah terjadi perubahan paradigma pendekatan bimbingan dan konseling, yaitu dari pendekatan yang berorientasi tradisional, remedial, klinis, dan terpusat pada konselor, kepada pendekatan yang berorientasi perkembangan dan preventif. Pendekatan bimbingan dan konseling perkembangan (Developmental Guidance and Counseling), atau bimbingan dan konseling komprehensif (Comprehensive Guidance and Counseling). Pelayanan bimbingan dan konseling komprehensif didasarkan kepada upaya pencapaian tugas perkembangan, pengembangan potensi, dan pengentasan masalah-masalah konseli. Tugas-tugas perkembangan dirumuskan sebagai standar kompetensi yang harus dicapai konseli, sehingga pendekatan ini disebut juga bimbingan dan konseling berbasis standar (standard based guidance and counseling). Standar dimaksud adalah standar kompetensi kemandirian (periksa lampiran 1).

Dalam pelaksanaannya, pendekatan ini menekankan kolaborasi antara konselor dengan para personal Sekolah/ Madrasah lainnya (pimpinan Sekolah/Madrasah, guru-guru, dan staf administrasi), orang tua konseli, dan pihak-pihak ter-kait lainnya (seperti instansi pemerintah/swasta dan para ahli : psikolog dan dokter). Pendekatan ini terintegrasi dengan proses pendidikan di Sekolah/Madrasah secara keseluruhan dalam upaya membantu para konseli agar dapat mengem-bangkan atau mewujudkan potensi dirinya secara penuh, baik menyangkut aspek pribadi, sosial, belajar, maupun karir.

Atas dasar itu, maka implementasi bimbingan dan konseling di Sekolah/Madrasah diorientasikan kepada upaya memfasilitasi perkembangan potensi konseli, yang meliputi as-pek pribadi, sosial, belajar, dan karir; atau terkait dengan pengembangan pribadi konseli sebagai makhluk yang berdimensi biopsikososiospiritual (biologis, psikis, sosial, dan spiritual).

DAFTAR RUJUKAN

AACE. (2003). Competencies in Assessment and Evaluation for School Counselor. http://aace.ncat.edu

Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia. (2007). Penataan Pendidikan Profesional Konselor. Naskah Akademik ABKIN (dalam proses finalisasi).

Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia. (2005). Standar Kompetensi Konselor Indonesia. Bandung: ABKIN

Bandura, A. (Ed.). (1995). Self-Efficacy in Changing Soceties. Cambridge, UK: Cambridge University Press.

BSNP dan PUSBANGKURANDIK, Balitbang Diknas. (2006). Panduan Pengembangan Diri: Pedoman untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah. Draft. Jakarta: BSNP dan PUSBANGKURANDIK, Depsiknas.

Cobia, Debra C. & Henderson, Donna A. (2003). Handbook of School Counseling. New Jersey, Merrill Prentice Hall

Corey, G. (2001). The Art of Integrative Counseling. Belomont, CA: Brooks/Cole.

Direktorat Pembinaan Pendidikan Tenaga Kependidikan dan Ketenagaan Pendidikan Tinggi. (2003). Dasar Standardisasi Profesionalisasi Konselor. Jakarta: Direktorat Pembinaan Pendidikan Tenaga Kepen-didikan dan Ketenagaan Pendidikan Tinggi, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional.

Engels, D.W dan J.D. Dameron, (Eds). (2005). The Professional Counselor Competencies: Performance Guidelines and Assessment. Alexandria, VA: AACD.

Browers, Judy L. & Hatch, Patricia A. (2002). The National Model for School Counseling Programs. ASCA (American School Counselor Association).

Comm, J.Nancy. (1992). Adolescence. California : Myfield Publishing Company.

Depdiknas. (2003). Pelayanan Bimbingan dan Konseling. Jakarta: Puskur Balitbang.

Depdiknas, (2005), Permen RI nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan,

Depdiknas, 2006), Permendiknas no 22 tahun 2006 tentang Standar Isi,

Depdiknas, (2006), Permendiknas no 24 tahun 2006 tentang pelaksanaan SI dan SKL,

Ellis, T.I. (1990). The Missouri Comprehensive Guidance Model. Columbia: The Educational Resources Information Center.

Gibson R.L. & Mitchel M.H. (1986). Introduction to Counseling and Guidance. New York : MacMillan Publishing Company.

Havighurts, R.J. (1953). Development Taks and Education. New York: David Mckay.

Herr Edwin L. (1979). Guidance and Counseling in the Schools. Houston : Shell Com.

Hurlock, Alizabeth B. (1956). Child Development. New York : McGraw Hill Book Company Inc.

Ketetapan Pengurus Besar Asosiasi Bimbingan dan Konseling Indonesia Nomor 01/Peng/PB-ABKIN/2007 bahwa Tenaga Profesional yang melaksanakan pelayanan professional Bimbingan dan Konseling disebut Konselor dan minimal berkualifikasi S1 Bimbingan dan Konseling.

Menteri Pendidikan Nasional. 2006. Peraturan Menteri Nomor 22 tentang Standar Isi. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional

Menteri Pendidikan Nasional. 2006. Peraturan Menteri Nomor 23 tentang Standar Kompetensi Lulusan. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional.

Michigan School Counselor Association. (2005). The Michigan Comprehensive Guidance and Counseling Program.

Muro, James J. & Kottman, Terry. (1995). Guidance and Counseling in The Elementary and Middle Schools. Madison : Brown & Benchmark.

Permendiknas Nomor 16 Tahun 2007 tentang Sertifikasi Guru dalam Jabatan.

Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan.

Pikunas, Lustin. (1976). Human Development. Tokyo : McGraw-Hill Kogakusha,Ltd.

Pusat Kurikulum, Balitbang Depdiknas. (2003). Panduan Pelayanan Bimbingan dan Konseling. Jakarta : Balitbang Depdiknas.

Sunaryo Kartadinata, dkk. (2003). Pengembangan Perangkat Lunak Analisis Tugas Perkembangan Peserta didik dalam Upaya Meningkatkan Mutu Pelayanan dan Manajemen Bimbingan dan Konseling di Sekolah/Madrasahdrasah (Laporan Riset Unggulan Terpadu VIII). Jakarta : Kementrian Riset dan Teknologi RI, LIPI.

Syamsu Yusuf L.N. (2005). Program Bimbingan dan Konseling di Sekolah/Madrasah. Bandung : CV Bani Qureys.

——–. 2004. Psikologi Perkembangan Anak dan Remaja. Bandung : Remaja Rosda Karya.

——–.dan Juntika N. (2005). Landasan Bimbingan dan Konseling. Bandung : PT. Remaja Rosda Karya.

Stoner, James A. (1987). Management. London : Prentice-Hall International Inc.

Undang-undang No 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional

Undang-Undang Nomor 14 tahun 2006 tentang Guru dan Dosen

Wagner William G. (1996). “Optimal Development in Adolescence : What Is It and How Can It be Encouraged”? The Counseling Psychologist. Vol 24 No. 3 July’96.

Woolfolk, Anita E. 1995. Educational Psychology. Boston : Allyn & Bacon.

*)) Materi di atas merupakan salah satu bagian dari makalah yang disajikan oleh Dr. Uman Suherman, M.Pd. pada acara seminar sehari Bimbingan dan Konseling yang diselenggarakan oleh Universitas Kuningan bekerja sama dengan ABKIN Cabang Kabupaten Kuningan pada tanggal 11 Maret 2008 bertempat di Aula Student Center UNIKU.

diambil dari : www.akhmadsudrajat.wordpress.com





14 CARA MENUMBUHKAN KERJASAMA SEKOLAH

14 Cara Menumbuhkan Semangat Kerjasama di Sekolah



Kerja sama merupakan salah satu fitrah manusia sebagai mahluk sosial. Kerja sama memiliki dimensi yang sangat luas dalam kehidupan manusia, baik terkait tujuan positif maupun negatif. Dalam hal apa, bagaimana, kapan dan di mana seseorang harus bekerjasama dengan orang lain tergantung pada kompleksitas dan tingkat kemajuan peradaban orang tersebut. Semakin modern seseorang, maka ia akan semakin banyak bekerja sama dengan orang lain, bahkan seakan tanpa dibatasi oleh ruang dan waktu tentunya dengan bantuan perangkat teknologi yang modern pula.



Bentuk kerjasama dapat dijumpai pada semua kelompok orang dan usia. Sejak masa kanak-kanak, kebiasaan bekerjasama sudah diajarkan di dalam kehidupan keluarga. Setelah dewasa, kerjasama akan semakin berkembang dengan banyak orang untuk memenuhi berbagai kebutuhan hidupnya. Pada taraf ini, kerjasama tidak hanya didasarkan hubungan kekeluargaan, tetapi semakin kompleks. Dasar utama dalam kerja sama ini adalah keahlian, di mana masing-masing orang yang memiliki keahlian berbeda, bekerja bersama menjadi satu kelompok/tim dalam menyelesaikan sebuah pekerjaan. Kerja sama tersebut adakalanya harus dilakukan dengan orang yang sama sekali belum dikenal, dan begitu berjumpa langsung harus bekerja bersama dalam sebuah kolempok. Oleh karena itu, selain keahlian juga dibutuhkan kemampuan penyesuaian diri dalam setiap lingkungan atau bersama segala mitra yang dijumpai.

Dari sudut pandang sosiologis, pelaksanaan kerjasama antar kelompok masyarakat ada tiga bentuk, yaitu: (a) bargaining yaitu kerjasama antara orang per orang dan atau antarkelompok untuk mencapai tujuan tertentu dengan suatu perjanjian saling menukar barang, jasa, kekuasaan, atau jabatan tertentu, (b) cooptation yaitu kerjasama dengan cara rela menerima unsur-unsur baru dari pihak lain dalam organisasi sebagai salah satu cara untuk menghindari terjadinya keguncangan stabilitas organisasi, dan (c) coalition yaitu kerjasama antara dua organisasi atau lebih yang mempunyai tujuan yang sama. Di antara oganisasi yang berkoalisi memiliki batas-batas tertentu dalam kerjasama sehingga jati diri dari masing-masing organisasi yang berkoalisi masih ada. Bentuk-bentuk kerjasama di atas biasanya terjadai dalam dunia politik (Soekanto, 1986).

Selain pandangan sosiologis, kerjasama dapat pula dilihat dari sudut manajemen yaitu dimaknai dengan istilah collaboration. Makna ini sering digunakan dalam terminologi manajemen pemberdayaan staf yaitu satu kerjasama antara manajer dengan staf dalam mengelola organisasi. Dalam manajemen pemberdayaan, staf bukan dianggap sebagai bawahan tetapi dianggap mitra kerja dalam usaha organisasi (Stewart, 1998).

Kerja sama (collaboration) dalam pandangan Stewart merupakan bagian dari kecakapan ”manajemen baru” yang belum nampak pada manajemen tradisional. Dalam bersosialisasi dan berorganisasi, bekerjasama memiliki kedudukan yang sentral karena esensi dari kehidupan sosial dan berorganisasi adalah kesepakatan bekerjasama. Tidak ada organisasi tanpa kerjasama. Bahkan dalam pemberdayaan organisasi, kerjasama adalah tujuan akhir dari setiap program pemberdayaan. Manajer akan ditakar keberhasilannya dari seberapa mampu ia menciptakan kerjasama di dalam organisasi (intern), dan menjalin kerja sama dengan pihak-pihak di luar organisasi (ekstern).

Sekolah adalah sebuah oganisasi. Di dalam sekolah terdapat struktur organisasi, mulai kepala sekolah, wakil kepala, dewan guru, staf, komite sekolah, dan tentu saja siswa-siswi. Dalam sekolah terdapat kurikulum dan pembelajaran, biaya, sarana, dan hal-hal lain yang harus direncanakan, dilaksankan, dipimpin, dan diawasi, yang kesemuanya itu bermuara pada hubungan kerja sama atau human relation.

Terkait dengan cara menumbuhkan semangat kerjasama di lingkungan sekolah, Michael Maginn (2004) mengemukakan 14 (empat belas) cara, yakni:

Tentukan tujuan bersama dengan jelas. Sebuah tim bagaikan sebuah kapal yang berlayar di lautan luas. Jika tim tidak memiliki tujuan atau arah yang jelas, tim tidak akan menghasilkan apa-apa. Tujuan memerupakan pernyataan apa yang harus diraih oleh tim, dan memberikan daya memotivasi setiap anggota untuk bekerja. Contohnya, sekolah yang telah merumuskan visi dan misi sekolah hendaknya menjadi tujuan bersama. Selain mengetahui tujuan bersama, masing-masing bagian seharusnya mengetahui tugas dan tanggungjawabnya untuk mencapai tujuan bersama tersebut.
Perjelas keahlian dan tanggung jawab anggota. Setiap anggota tim harus menjadi pemain di dalam tim. Masing-masing bertanggung jawab terhadap suatu bidang atau jenis pekerjaan/tugas. Di lingkungan sekolah, para guru selain melaksanakan proses pembelajaran biasanya diberikan tugas-tugas tambahan, seperti menjadi wali kelas, mengelola laboratorium, koperasi, dan lain-lain. Agar terbentuk kerja sama yang baik, maka pemberian tugas tambahan tersebut harus didasarkan pada keahlian mereka masing-masing.
Sediakan waktu untuk menentukan cara bekerjasama. Meskipun setiap orang telah menyadari bahwa tujuan hanya bisa dicapai melalui kerja sama, namun bagaimana kerja sama itu harus dilakukan perlu adanya pedoman. Pedoman tersebut sebaiknya merupakan kesepakatan semua pihak yang terlibat. Pedoman dapat dituangkan secara tertulis atau sekedar sebagai konvensi.
Hindari masalah yang bisa diprediksi. Artinya mengantisipasi masalah yang bisa terjadi. Seorang pemimpin yang baik harus dapatmengarahkan anak buahnya untuk mengantisipasi masalah yang akan muncul, bukan sekedar menyelesaikan masalah. Dengan mengantisipasi, apa lagi kalau dapat mengenali sumber-sumber masalah, maka organisasi tidak akan disibukkan kemunculan masalah yang silih berganti harus ditangani.
Gunakan konstitusi atau aturan tim yang telah disepakati bersama. Peraturan tim akan banyak membantu mengendalikan tim dalam menyelesaikan pekerjaannya dan menyediakan petunjuk ketika ada hal yang salah. Selain itu perlu juga ada konsensus tim dalam mengerjakan satu pekerjaan..
Ajarkan rekan baru satu tim agar anggota baru mengetahui bagaimana tim beroperasi dan bagaimana perilaku antaranggota tim berinteraksi. Yang dibutuhkan anggota tim adalah gambaran jelas tentang cara kerja, norma, dan nilai-nilai tim. Di lingkungan sekolah ada guru baru atau guru pindahan dari sekolah lain, sebagai anggota baru yang baru perlu ”diajari” bagaimana bekerja di lingkungan tim kerja di sekolah. Suatu sekolah terkadang sudah memiliki budaya saling pengertian, tanpa ada perintah setiap guru mengambil inisiatif untuk menegur siswa jika tidak disiplin. Cara kerja ini mungkin belum diketahui oleh guru baru sehingga perlu disampaikan agar tim sekolah tetap solid dan kehadiran guru baru tidak merusak sistem.
Selalulah bekerjasama, caranya dengan membuka pintu gagasan orang lain. Tim seharusnya menciptakan lingkunganyang terbuka dengan gagasan setiap anggota. Misalnya sekolah sedang menghadapi masalah keamanan dan ketertiban, sebaiknya dibicarakan secara bersama-sama sehingga kerjasama tim dapat berfungsi dengan baik.
Wujudkan gagasan menjadi kenyataan. Caranya dengan menggali atau memacu kreativitas tim dan mewujudkan menjadi suatu kenyataan. Di sekolah banyak sekali gagasan yang kreatif, karena itu usahakan untuk diwujudkan agar tim bersemangat untuk meraih tujuan. Dalam menggali gagasan perlu mencari kesamaan pandangan.
Aturlah perbedaan secara aktif. Perbedaan pandangan atau bahkan konflik adalah hal yang biasa terjadi di sebuah lembaga atau organisasi. Organisasi yang baik dapat memanfaatkan perbedaan dan mengarahkannya sebagai kekuatan untuk memecahkan masalah. Cara yang paling baik adalah mengadaptasi perbedaan menjadi bagian konsensus yang produktif.
Perangi virus konflik, dan jangan sekali-kali ”memproduksi” konflik. Di sekolah terkadang ada saja sumber konflik misalnya pembagian tugas yang tidak merata ada yang terlalu berat tetapi ada juga yang sangat ringan. Ini sumber konflik dan perlu dicegah agar tidak meruncing. Konflik dapat melumpuhkan tim kerja jika tidak segera ditangani.
Saling percaya. Jika kepercayaan antaranggota hilang, sulit bagi tim untuk bekerja bersama. Apalagi terjadi, anggota tim cenderung menjaga jarak, tidak siap berbagi informasi, tidak terbuka dan saling curiga.. Situasi ini tidak baik bagi tim. Sumber saling ketidakpercayaan di sekolah biasanya berawal dari kebijakan yang tidak transparan atau konsensus yang dilanggar oleh pihak-pihak tertentu dan kepala sekolah tidak bertindak apapun. Membiarkan situasi yang saling tidak percaya antar-anggota tim dapat memicu konflik.
Saling memberi penghargaan. Faktor nomor satu yang memotivasi karyawan adalah perasaan bahwa mereka telah berkontribusi terhadap pekerjaan danm prestasi organisasi. Setelah sebuah pekerjaan besar selesai atau ketika pekerjaan yang sulit membuat tim lelah, kumpulkan anggota tim untuk merayakannya. Di sekolah dapat dilakukan sesering mungkin setiap akhir kegiatan besar seperti akhir semester, akhir ujian nasional, dan lain-lain.
Evaluasilah tim secara teratur. Tim yang efektif akan menyediakan waktu untuk melihat proses dan hasil kerja tim. Setiap anggota diminta untuk berpendapat tentang kinerja tim, evaluasi kembali tujuan tim, dan konstitusi tim.
Jangan menyerah. Terkadang tim menghadapi tugas yang sangat sulit dengan kemungkinan untuk berhasil sangat kecil. Tim bisa menyerah dan mengizinkan kekalahan ketika semua jalan kreativitas dan sumberdaya yang ada telah dipakai. Untuk meningkatkan semangat anggotanya antara lain dengan cara memperjelas mengapa tujuan tertentu menjadi penting dan begitu vital untuk dicapai. Tujuan merupakan sumber energi tim. Setelah itu bangkitkan kreativitas tim yaitu dengan cara menggunakan kerangka fikir dan pendekatan baru terhadap masalah.
Sumber:

Soekanto, S. 1986. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Rajawali Pers.

Maginn, M. 2004. Making Teams Work: 24 Poin Penting Seputar Kesuksesan dalam Bekerjasama. Jakarta: Bhuana Ilmu Populer.

Stewart, A. 1998. Empowering People. Yogyakarta: Kanisius.

==========================

Diambil dan disarikan dari: Direktur Tendik Ditjen PMPTK Depdiknas. 2008. Menumbuhkan Semangat Kerjasama di Lingkungan Sekolah (bahan diklat peningkatan kompetensi pengawas sekolah). Jakarta.

Selamat membangun

MASALAH DAN BELAJAR

1. Apakah semua masalah merupakan hasil dari belajar?

Melihat dari arti kata masalah (adanya kesenjangan antara harapan dengan kenyataan) dan belajar (proses perubahan tingkah laku, proses perubahan dari tidak tahu menjadi tahu), maka dapat kita katakan bahwa semua masalah merupakan hasil dari belajar. Hal ini dikarenakan perilaku belajar yang tidak disertai dengan perubahan tingkah laku sebagai hasil dari belajar itu maka pasti ada suatu masalah yang menyebabkan tidak adanya perubahan perilaku tersebut.

Berikut pendapat beberapa ahli tentang masalah sebagai hasil dari belajar:
 Teori belajar menurut ilmu jiwa Gestalt, yang terpenting dalam belajar adalah penyesuaian pertama, yaitu mendapatkan respon (tanggapan) yang tepat. Dari itu, untuk mendapatkan respond an tanggapan yang tepat, individu harus belajar dan dari belajar itulah akan timbul masalah-masalah sebagai hasil dari pebelajaran individu (jika negative maupun gagal)
 Dari R. Gagne mengatakan bahwa segala sesuatu yang dipelajari oleh manusia dapat di bagi menjadi 5 kategori yaitu sebagai berikut:
1.keterampilan Motoris (motor skill).
2.informasi verbal.
3.kemampuan intelektual.
4. Strategi kognitif.
5.sikap.
Dari 5 kategori tersebut manusia akan menemukan masalah-masalah sebagai hasil dinamika dan pada prinsipnya masalah adalah hasil dari dinamika kelima dinamika tersebut.

2. Berikan contoh masalah dan unsur-unsur penyebabnya!

Contoh masalah dan unsur-unsur penyebabnya adalah sebagai berikut:
Pada suatu hari, Seorang siswa mendatangi seorang konselor sekolah dan menceritakan permasalahan yang dialaminya. Dia menceritakan bahwa pada saat belajar dia sering mengantuk dan merasa pusing. Konselor tersebut tidak langsung memvonis bahwa siswa tersebut sakit secara fisik. Tetapi, dia mulai membuat kemungkinan-kemungkinan unsur penyebab masalah siswa tersebut. Konselor menganalisa permasalahan siswa terseut sebagai berikut :
a. faktor fisik, seperti siswa ini sedang sakit atau kemampuan otak siwa memang sudah tidak tidak mampu lagi menerima pelajaran.
b. kondisi-kondisi lingkungan. Mungkin saja ada situasi lingkungan sekitar siswa yang memang mengharuskan siswa ini begadang sehingga menyebabkan siswa ini merasa mengantuk dan pusing. Seperti ada keributan di sekitar lingkungan tempat siswa, siswa membantu orang tuanya hingga larut malam.
c. hubungan sosial siswa yang kurang harmonis dengan anggota keluarganya yang menyebabkan siswa memikirkan masalahnya.
d. Siswa tidak mampu berinteraksi dengan penghuni kelas lainnya, sehingga menyebabkan siswa tida betah dan merasa bosan dikelas.
3. Apakah yang dimaksud dengan pernyataan bahwa “permasalahan klien perlu dipandang secara operasional” ?

Operasional berarti berhubungan dengan program kerja. Program kerja seorang konselor dalam menghadapi permasalahan klien itu diperlukan agar dalam membantu mengatasi masalah yang ada pada diri klien, konselor mempunyai acuan yang tepat. Sehingga konselor mampu membatasi (menspesifikasi) permasalahan tersebut. Dan pengentasan masalah itu tidak melebar atau tidak keluar dari acuan (program kerja) konselor tersebut. Konselor perlu mengembangkan cara untuk memandang masalah klien yang membatasi perilaku masalah sekarang dan beberapa kondisi masalah yang mendukung.

Kamis, 08 April 2010

Puisi Untukmu Guru

Sepenggal Puisi untukmu Guru

Guru……
Ketika tak ada secercah cahaya….
Ketika aku belum mengenal rangkaian kata…..
Ketika aku tak mampu menuliskan satupun angka…..
Kau hadir, membawakan aku sebuah pelita
Penerang hati, penerang jiwa……

Guru….
Terima kasih….
Melaluimu….ku mampu menulis sepenggal puisi ini….
Dan karnamu…aku mampu membuka cakrawala dunia
Cakrawala pengetahuan tak berbatas……..
Wahai sumber inspirasi jiwa….
Jasamu takkan kulupa….
Kesabaranmu yang tiada berhingga
Akan terus terpatri
Dalam lubuk hati ini……

Guru…
Hanya ini saja yang baru bisa kuberi
Sepenggal puisi…
Dari calon penerus generasi….

By : Pena Aisya

Senin, 05 April 2010

pengertian bimbingan dan konseling

Pengertian Bimbingan

Bimbingan merupakan bantuan yang diberikan kepada individu dari seorang yang ahli, namun tidak sesederhana itu untuk memahami pengertian dari bimbingan. Pengertian tetang bimbingan formal telah diusahakan orang setidaknya sejak awal abad ke-20, yang diprakarsai oleh Frank Parson pada tahun 1908. Sejak itu muncul rumusan tetang bimbingan sesuai dengan perkembangan pelayanan bimbingan, sebagai suatu pekerjaan yang khas yang ditekuni oleh para peminat dan ahlinya. Pengertian bimbingan yang dikemukakan oleh para ahli memberikan pengertian yang saling melengkapi satu sama lain.

Maka untuk memahami pengertian dari bimbingan perlu mempertimbangkan beberapa pengertian yang dikemukakan oleh para ahli sebagai berikut :

“Bimbingan sebagai bantuan yang diberikan kepada individu untuk dapat memilih,mempersiapkan diri dan memangku suatu jabatan dan mendapat kemajuan dalam jabatan yang dipilihnya” (Frank Parson ,1951).

Frank Parson merumuskan pengertian bimbingan dalam beberapa aspek yakni bimbingan diberikan kepada individu untuk memasuki suatu jabatan dan mencapai kemajuan dalam jabatan. Pengertian ini masih sangat spesifik yang berorientasi karir.

“Bimbingan membantu individu untuk lebih mengenali berbagai informasi tentang dirinya sendiri” (Chiskolm,1959).

Pengertian bimbingan yang dikemukan oleh Chiskolm bahwa bimbingan membantu individu memahami dirinya sendiri, pengertian menitik beratkan pada pemahaman terhadap potensi diri yang dimiliki.

“Bimbingan merupakan kegiatan yang bertujuan meningkatkan realisasi pribadi setiap individu” (Bernard & Fullmer ,1969).

Pengertian yang dikemukakan oleh Bernard & Fullmer bahwa bimbingan
dilakukan untuk meningkatakan pewujudan diri individu. Dapat dipahami bahwa bimbingan membantu individu untuk mengaktualisasikan diri dengan lingkungannya.

“Bimbingan sebagai pendidikan dan pengembangan yang menekankan proses belajar yang sistematik” (Mathewson,1969).

Mathewson mengemukakan bimbingan sebagai pendidikan dan pengembangan yang menekankan pada proses belajar. Pengertian ini menekankan bimbingan sebagai bentuk pendidikan dan pengembangan diri, tujuan yang diinginkan diperoleh melalui proses belajar.

Dari beberapa pengertian bimbingan yang dikemukakan oleh para ahli maka dapat diambil kesimpulan tentang pengertian bimbingan yang lebih luas, bahwa bimbingan adalah :

“Suatu proses pemberian bantuan kepada individu secara berkelanjutan dan sistematis, yang dilakukan oleh seorang ahli yang telah mendapat latihan khusus untuk itu, dimaksudkan agar individu dapat memahami dirinya, lingkunganya serta dapat mengarahkan diri dan menyesuaikan diri dengan lingkungan untuk dapat mengembangkan potensi dirinya secara optimal untuk kesejahteraan dirinya dan kesejahteraan masyarakat”